Menanti Asa, Nasib Dosen Indonesia di Tahun 2021

oleh

Foto ilustrasi

Infoplus – Tahun Baru 2021 menjadi harapan baru Pendidikan Tinggi di Indonesia. Harapan itu terkait sejumlah perubahan peraturan yang dianggap belakangan membelenggu para dosen mendapatkan haknya secara manusia.

Tak bisa dipungkiri, penghargaan dosen baik di universitas negeri, apalagi swasta hak itu bisa dikatakan “dikebiri”.

Berangkat dari peraturan yang njlimet dan sulit untuk mencapai jenjang kepangkatan yang lebih tinggi, Serdos, hingga pada penghargaan yang terabaikan.

Kementerian Pendidikan Tinggi justeru sibuk membuat peraturan dan banyak menguji. Perhatian terhadap kesejahteraan dosen dinilai diabaikan?

Kenyataan pahit ini dialami, terutama dosen di kampus swasta. Berpuluh-puluh tahun hampir tidak ada perubahan, khusunya perihal kesejahteraan dosen.

INFOPlus menghimpun berbagai masukan dari beberapa dosen dari Perguruan Tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta dan diturunkan dalam Laporan Khusus menghadapi Tahun Baru 2021.

Harapan Baru Pendidikan Tinggi di Indonesia

Dr. phil. Idhamsyah Eka Putra Dosen Fakultas Psikologi di iniversitas di Jakarta menilai, peraturan Pendidikan Tinggi di Indonesia menggelikan dan layaknya dagelan.

Salah satu lulusan terbaik dan tercepat di Johannes Kepler University (di bawah bimbingan Prof. Wolfgang Wagner) ini menilai problem-problem pendidikan tinggi yang perlu perhatian khusus agar tidak menghambat perkembangan kampus maupun karir dosen.

Peraih penghargaan Ilmuwan Muda Psikologi yang produktif dan aktif mengembangkan keilmuwan psikologi di Indonesia (Dari Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara) itu mengatakan. Hal itu berkaitan dengan Guru Besar/Profesor, ,Standarisasi Gaji- academic slavery, Kepegawaian (NIDN, NIDK, NUP), Sistem rekrutmen tertutup.

“PTN, sistem rekrutmennya tes CPNS, dan pengembangan riset ilmiah,” katanya.

Sementara itu Dr. Ferdinand Hindiarto, Dosen Fakultas Psikologi salah satu universitas di Semarang menyoroti program MBKM. Menurutnya Sosialisasi Kurikulum Baru Merdeka Belajar Kurikulum Merdeka (MBKM) masih perlu dilakukan.

“Jika ingin di implementasikannya, sebaiknya perguruan tinggi mengolah kembali dengan mendasarkan prinsip-prinsip utama filsafat pendidikan,” kata dia.

Dosen lain Dr. Tugimin Supriyadi, lebih memberikan perhatian pada minimnya gaji dosen (terutama dosen swasta) yang menurutnya sangat tidak manusia.

Ia mengaku miris melihat nasib dosen swasta yang dalam satu semester menerima honor tak sampai satu juta. Bahkan menurut psikolog dan pengamat kepolisian ini menengarai, banyak universitas yang menjerat dosennya.

Para dosen “dicegah” tak bisa berprestasi dan tidak bisa pindah ke universitas lain agar mendapatkan kesejahteraan sesuai yang diharapkan. Perjanjian ikatan dinas sampai 20 tahun karena universitas merasa membiayai pendidikan S 3 dosennya menjadi alasannya.

Diskusi Para Dosen

Dalam sebuah diskusi di sebuah Hotel di Jakarta beberapa waktu yang lalu banyak muncul berbagai isu dan pendapat yang bermacam-macam.

Diantaranya muncul dari salah satu dosen, peserta diskusi SH (demikian inisialnya).

“Saya juga tidak menolak fakta ada dosen di bayar rendah yang rasanya “tidak pantas”, namun beberapa dosen bersedia dengan dengan hal itu karena masih ada kerja ngasong untuk melengkapi sumber kehidupannya,” kata SH.

Pendapat itu dengan tegas ditangkas IS, dosen lain yang turut menjadi peserta diskusi.

“Gampang saja kalau gitu. Ya jangan memaksa dosen untuk go internasional semua. Untuk komit dengan mengajar menyiapkan materi semaksimal mungkin. Lah kalau untuk hidup aja harus pontang panting. Jangan berharap yang punya kompetensi masuk ke kampus. Jangan berharap Habibi-Habibie baru masuk ke kampus. Habibie saja tidak masuk kampus Indo. Jangan maksa seluruh dosen untuk S3, kalau menggaji dosen S2 saja masih merasa berat dan morat-marit,” sindirnya.

Peserta lain lalu menimpali.

“Kenyataannya. Semua dosen diminta untuk perform. Lah piye… Gak bisa rebut-ribut juga kalo jadinya banyak yg kena korban jurnal predator,” selorohnya.

Dalam diskusi yang hangat dan meriah dengan ide-ide itu juga mucul pernyataan “Di psikologi masih untung. Masih ada yang bisa jadi asonger. Lah ini ada yang curhat sama saya dosen di Sulawesi digaji 1 smester Rp 1 juta. Satu semester… Masa yang kayak gini kita mau ngomong kualitas,” kata dia.

Dosen sebuah Universitas di Jawa Timur, Herlambang T Wirataman menyoroti bagaimana menjaga kebebasan akademik. Menurutnya saat ini kampus-kampus di Indonesia konsentrasi bersolek melakukan internasionalisasi demi peringkat.

Herlambang menyoroti banyaknya problematika di perguruan tinggi. Melalui sebuah media kenamaan di Jakarta ia memaparkan, salah satu problem, yakni belum sepenuhnya kebebasan akademik terjaga. Salah satunya, adanya kampus-kampus perguruan tinggi yang kian terpolitisasi kekuasaan.

Dia berharap serangan-serangan terhadap sivitas dan aktivitas akademik tidak dibiarkan tanpa ada pertanggung-jawaban. Bahkan dirinya menyayangkan ada dosen yang diancam dibunuh hanya karena mengembangkan metode pembelajaran.

Jabatan Fungsional dan Serdos yang Berbelit

Berkait dengan NIDN dan NIDK, jabatan fungsional, dan juga Sertifikasi Dosen (Serdos), dari beberapa peserta diskusi menyatakan. Masih banyak dosen S2 dan S3 yang belum memiliki jabatan fungsional, bahkan doktor-doktor dan Prof baru ada juga yang belum lulus sertifikasi sebagai Dosen Profesional.

Padahal yang sesunggunya kualifikasinya tidak kalah dengan dosen-dosen yang telah lolos Serdos. Hal ini lantaran aturan dan syarat administrasi yang dinilai rumit dan berbelit-belit.

Apalagi bagi lulusan luar negeri dan sudah berkarier di luar negeri dan ingin pindah berkarier di Indonesia. Prosedurnya makin sulit dan terkesan “makan ati”. Mengurus penyetaraannya, lebih banyak membuat frustasi.

Problema Pengembangan Riset Ilmiah

Diungkap pula, format post-doctoral di Indonesia tidak jelas, bahkan cenderung tidak ada. Padahal sebenarnya post-doc inilah yang biasanya dijadikan mesin pengembangan ilmiah.

Sangat disayanangkan, banyak universitas merekrut orang yang punya cita-cita menjadi pengajar, dan kebanyakan perekrutan “tidak terbuka”.

Selain itu, banyak universitas merekrut calon dosen dari bawah. Apalagi, universitas menghargai kerja dosen bukan pada target, tapi dihitung berdasarkan kerja administrative.

“Ini kenapa banyak dosen tidak produktif. Maka dampaknya banyak dosen yang tidak produktif, dan hanya sekedar memenuhi syarat administrative,” kata seorang peserta diskusi.

Mayoritas peserta, para dosen negeri dan swasta dari sejumlah universitas di Indonesia, berharap pada tahun 2021, bernasib lebih baik dari pada tahun-tahun sebelumnya.(tim)