Jual Beli Kursi dan Korupsi Proyek IAIN Kudus

oleh

Tak hanya isu jual beli jabatan pemilihan Ketua STAIN Kudus (sekarang IAIN) periode 2017-2021 yang menguap. Kasus dugaan korupsi juga diindisi terjadi atas sejumlah proyek di kampus IAIN. Sebanyak 30 paket kegiatan Rp 105,4 miliar disebut-sebut dikorupsi. Kasusnya kini masuk ranah hukum usai dilaporkan ke kejaksaan. Kasus diungkap diduga terkait suksesi pimpinan IAIN.

Pemilihan Rektor IAIN) periode 2017-2021 dianggap memiliki kejanggalan pasca OTT Ketua PPP, Romahurmuziy oleh KPK beberapa waktu lalu. Kejanggalan itu karena prosesnya mirip dengan perkara Rommy soal dugaan jual beli jabatan di Kemenag.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman mengatakan, pihaknya sudah melapor ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah terkait kasus itu.

“Sudah kami laporkan dan Kejati informasinya sudah cek ke IAIN Kudus,” kata Boyamin, awql April 2019 lalu.

Selain soal dugaan jual beli kursi rektor, MAKI juga melakukan dugaan penyimpangan sejumlah paket pekerjaan di kampus negeri itu. Sebanyak 30 paket kegiatan senilai Rp 105,4 miliar diduga dikorupsi.

Penyimpangan paling besar terjadi atas proyek pembangunan gedung perpustakaan IAIN Kudus tahun 2018  beranggarkan Rp 33 miliar diduga terjadi sejak lelang.  Panitia proses lelang proyek pembangunan Gedung Perpustakaan IAIN Kudus dengan anggaran sebesar Rp 32, 989 miliar diduga melakukan pelanggaran.

Lelang dimenangkan PT Sumber Alam Sejahtera yang baru belakangan mendaftar. Setidaknya ditemukan dua kejanggalan saat proses lelangnya.

Lelang sempat ditunda dan diperpanjang. Pendaftaran lelang diperpanjang satu minggu dari jadwal sebelumnya, tanpa alasan jelas. Hal itu menimbulkan prasangka sejumlah rekanan lain atas proyek bersumber anggatan dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) tahun 2018 itu.

Akibat diundur, jadwal pemasukan penawaran turut mundur. Muncul tudingan, jika alasan diundurnya pendaftaran dan penawaran karena ada rekanan peserta lelang yang belum memenuhi syarat saat itu.

Indikasi penyimpangan kedua, diduga terjadi rekayasa dalam tender, berupa penentuan spesiflkasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu. Tidak banyak perusahaan yang bisa memasukan penawaran.

Dari 49 penyedia barang dan jasa, hanya 3 perusahaan yang memasukan penawaran yaitu (1) PT Sumber Alam Sejahtera (SAS) (2) PT Mitra Andalan Sakti da. PT Rona Karya Mandiri. Infonya, PT Sumber Alam dan Mitra Andalan adalah rekanan.

Diketahui, terdapat oknum pegawai PT Mitra Andalan yang akhirnya terlibat pekerjaan oleh PT Sumber Alam Sejahtera selaku pelaksana. Meski awalnya memberikan penawaran paling rendah, PT Rona Karya Mandiri tetap dinilai tak lolos. Panitia menyatakan usulan penawarannya tidak memenuhi syarat tehnis.

Penyimpangan diduga pula terjadi saat pelaksanaan proyek gedung perpustakaan seluas bangunan 6.832 M2 itu. Paket pekerjaan proyek didasarkan kontrak kerjasama antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPKom) selaku pengguna dan rekanan PT Sumber Alam Sejahtera sebagai penyedia. Kontrak pelaksanaan kerja dimulai tertanggal 28 Mei sampai 13 Desember 2018.

Berdasar penelusuran, ditemukan dugaan indikasi pelanggaran adminitrasi dan tehnis perihal pengerjaannya. Hal adminitratif, pembangunan gedung perpustakaan disebut, dimulai tanpa dilengkapi adanya Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sejak awal, bahkan sampai akhir tahun 2018, IMB belum keluar.

Tak diketahui pasti alasan belum adanya IMB. Hal itu patut diduga menyimpangi ketentuan Undang Undang No 28/2002 tentang bangunan gedung. Ketiadaan IMB juga menimbulkan pertanyaan terkait status tanah bangunannya.

Dugaan pelanggaran adminitratif kedua, nama personil dalam dokumen kontrak yang dicantumkan rekanan tidak sesuai di lapangan. Personil asing itu tak pernah diajukan sebagai tim tehnis lapangan namun diketahui mengerjakan. Muncul tudingan nama PT Sumber Alam hanya dipinjam bendera saja.

Indikasi pelanggaran tehnis sendiri diketahui paling terlihat. Sesuai dokumen kontrak yang diperoleh, pekerjaan dimulai 30 Mei dan harus selesai 2018. Namun faktanya, sampai melewati 13 Desember proyek tak rampung.

Temuan lain menurut sumber yang dihimpun, diketahui spesifikasi proyek tak sesuai dokumen kontrak. Di antara temuan yang disampaikan sumber, sepertu ketebalan cor lantai yang seharusnya 15 cm hanya dibuat 13,5 cm. Perbandungan campurna semen, batu, pasir sesuai kontrak 1 :2:3, tapi hanya 1:3:4.

Rancangan bekisting ditentukan dalam dokumen kontrak besi ukuran diameter 15 mm dengan jarak anyaman 10 cm, tetapi di lapangan besi ukuran 12 mm dengan jarak anyaman 15 cm. Tiang penyangga, dalam dokumen kontrak d tentukan : besi ukuran diameter 22 mm dengan kolom 50 cm x 50 cm, tetapi dalam kenyataannya digunakan besi ukuran 20 mm, dengan kolom 50 cm x 60 cm.

Temuan lain, sloop tulangan utama dalam dokumen kontrak ditentukan besi diameter 16 mm ,Tulangan Scngkang besi ukuran diameter 10 mm. Tetapi dalam kenyataan digunakan besi 14 mm dan besi ukuran diameter 8 mm.

“Temuan lain ukuran keramik lantai, baja ringan untuk atap juga terjadi selisih atau perbedaan antara yang tertera di dalam dokumen kontrak dengan realitas yang dilaksanakan oleh pelaksana pembangunan proyek,” sebutnya.

Terkait keterlambatan pekerjaan proyek yang harusnya rampung pada 13 Desember 2018, diketahui sampai 24 Januari 2019 proyek belum selesai. Terjadi kemoloran sekitar 42 hari. Kondisi itu seharusnya menjadikan adanya sanksi denda yang harus dibayarkan rekanan ke pengguna barang dan jasa.

Sesuai Perpres Nomor l6 tahun 2018 dljelaskan “Jika terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan, penyedia dikenai denda satu permil dari nilai kontrak setiap hari keterlambatan”. Jika nilai kontrak pembangunan gedung perpustakaan  sebesar Rp 32,989 miliar. Maka setiap hari penyedia barang atau rekanan harus membayar denda setiap hariny Rp 32, 989 juta.

“Jika terlambat 42 hari, maka penyedia barang harus hams membayar Rp  32, 989 juta dikalikan 42 hari kererlambatan atau sekutar Rp 1.385.538.000,” jelasnya.

Pecah Proyek untuk Hindari Lelang

Laporan juga diajukan terkait indikasi kongkalikong dalam lelang dan pelaksanaannya. MAKI mengaku, menemukan adanya modus pemecahan paket anggaran pengadaan barang dan jasa atas sejumlah paket pekerjaan. Hal itu diduga untuk menghindari adanya persaingan lelang.

“Ada temuan, beberapa proyek dipecah-pecah menjadi kecil untuk menghindari adanya lelang,” jelasnya.

Pertama, proyek pengadaan ruang pimpinan dan ruang meeting dekan sebesar Rp 600 juta. Kontrak pengadaan ruang terjadi November 2018 dan dikerjakan CV Kusuma Jaya Abadi senilai Rp 199,9 juta.

Pengadaan ruang pimpinan dan meeting Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEBI) yang dikerjakan CV Restu Bumi senilai Rp 199,9 juta. Serta pengadaan ruang meeting Dekan Fakultas Dakwah sebesar Rp 199,9 juta yang juga dikerjakan CV Restu Bumi. Proyek dibayar bendahara IAIN Kudus pada 26 Desember 2018.

Pengadaan ketiganya dilihat jenis mata anggaran atay peruntukannya padahal sama dengan pengadaan ruang meeting dekan fakultas dan Direktur Pasca Sarjana. Namun prakteknya, pengadaan dipisah. CV Restu Bumi misalnya, akhirnya mengerjakan dua proyek yang sama tanpa lelang.

Pemecahan paket pengadaan interior ruang dekan Rp 600 juta. Proyek dipecah menjadi tiga kegiatan. Untuk ruang dekan Fakultas Syariah dikerjakan CV Kusuma Jaya Abadi sebesar Rp 199 juta. Pengadaan interior ruang pasca sarjanan oleh CV Bintang Maharani sebesar Rp 199 juta. Serta pengadaan interior ruang meeting Dekan Tarbiyah yang juga dikerjakan CV Bintang Maharani sebesar Rp 199 juta.

Proyek lain yang dipecah, pengadaan ruamg meeting rektor di gedung rektorat sebesar Rp 422,7 juta. Meski dipecah, tapi nyatanya proyek ini dikerjakan oleh rekanan yang sama, CV Wirat Indo Raya. Pengadaan dilakukan dalam waktu dan akhir kontrak yang sama.

Proyek pengadaan interior gedung rektorat Rp 325 juta yang dipecah tiga paket kegiatan berdasarkan lantai gedung. Dua proyek dikerjakan CV Nata Paramarta Rp 124 juta dan Rp 124,9 juta. Serta CV Yadi Wiratama Rp 74,9 juta.

Asisten Intelejen Kejati Jateng, Bambang Haryanto dikonfirmasi mengakui masih mempelajari terkait laporan itu. “Masih dipelajari,” kata dia.(tim)

Tolong Diamankan Ya…”

Dosen IAIN Kudus, Dr. M. Saekan Muchith, S.Ag, M.Pd menceritakan pengalamannya saat menjadi salah satu calon Ketua STAIN Kudus periode 2017-2021. Saat itu ada 3 kandidat. Dirinya, kemudian petahana Dr. Fathul Mufid, dan Dr Mudzakir, M.Ag.

Panitia seleksi lokal menyatakan Mudzakir tidak memenuhi administrasi. Meski begitu, lalu muncul surat Dirjen Pendidikan Islam Kementrian Agama RI yang ditujukan kepada Plt Ketua STAIN Kudus nomor 2176/Dj.I/Kp.07.06/06/2017/ Surat itu membuat Plt Ketua memasukkan lagi nama Mudzakir dalam tahap seleksi selanjutnya.

“MDR menjadi 3 besar calon yang lolos untuk mengikuti tahapan berikutnya mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Kemetrian Agama Pusat,” kata Saekan.

Dari penilaian Senat Akademik STAIN Kudus, katanya, nilai Mudzakir terendah namun ternyata dilantik oleh Menteri Agama sebagai Ketua STAIN Kudus. Pada tahun 2018 STAIN berubah menjadi IAIN sehingga jabatan Mudzakir saat ini adalah Rektor IAIN Kudus periode 2018-2022.

“Ini sengaja saya ungkapkan, setelah KPK melakukan OTT terhadap RMY 15 Maret 2019 soal jual beli jabatan di Kemenag,,” tandas Saekan.

Saekan juga mengaku pernah ditelepon oknum Kemenag ketika proses pemilihan itu. Lewat sambungan telepon, ia mengaku sempat disambungkan kepada seseorang yang diperkenalkan bernama Rommy.

“Teman-teman di Jakarta tolong diamankan, ya,” kata Saekan menirukan suara orang yang diperkenalkan sebagai Rommy. “Suaranya mirip RMY yang itu,” imbuhnya.

Kemudian telepon tersebut kembali kepada oknum yang menghubungi. Oknum itu kemudian bertanya soal proyek pembangunan gedung SBSN. Dosen pasca sarjana itu mengaku tidak menyebut pembicaraan singkat dengan pria bernama Rommy itu merujuk soal jabatan ketua IAIN atau SBSN.

Ia uang mengungkapkan pengalamannya itu ke media mengaku dibully dan diintimidasi kemudian. “Saya merasa diintimadisi rektor saya. Maka lapor ke komisi ASN, LPSK, dan Irjen Kemenag Pusat,” jelasnya.

Dalam WA Grup, Saekan dianggap merusak marwah lembaga, pengecut, dan lainnya. Muncul juga petisi yang disebar ke dosen dan pegawai di IAIN Kudus yang menuntutnya minta maaf.

“Sikap yang aneh dan lucu. Padahal pemerintah melalui Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2018 menghargai dan mengapresiasi siapa saja yang melaporkan atau menyampaikan informasi tentang dugaan tindak pidana korupsi,” tegas dosen yang sudah mengabdi 20 tahun itu.

Rektor IAIN Kudus Membantah

Rektor IAIN Kudus Mudzakir membantah adanya dugaan jual beli jabatan saat suksesinya.

“Saya enggak tahu. Tapi saya yang jelas enggak ada gitu-gitu (jual beli). Karena suksesi dengan yang dikait-kaitkan Pak Saekan tentang proyek, di situ kan dua hal yang berbeda. Kasusnya juga berbeda, waktunya juga berbeda, ” kata dia ke media.

Dia membeberkan proyek itu dilaksanakan di periode kepemimpinan Mufid dan Saekan. Waktunya, saat dia dilantik rektor bulan Juli 2017, kata dia, proyek sudah jalan. Proyek itu adalah proyek pembangunan gedung SBSN.

“Proyek kan sudah jalan. Tinggal beberapa hal lagi. Sebagai rektor baru, dia hanya memantau administrasi. Kok dikaitkan denhgan tidak bisa kawal proyek, itu otake kebungkus opo iku (otaknya terbungkus apa itu, ” ujarnya.

Terkait pemilihan rektor, ia menyebut, namanya dianggap tidak masuk kriteria tapi tetap bisa terpilih. Dikatakannya, sesuai PMA Nomor 68 tahun 2015 telah jelas dinyatakan syarat-syaratnya.

“Syrat sudah jelas. Panitia pansel lokal termasuk di dalamnya ada Pak Saekan, ditambah-tambahi syarat “ben kiro-kiro” saya tidak bisa masuk. Seperti pernah memaparkan makalah seminar di luar negeri, itu dipersyaratkan. Syarat sebagai ketua,” ujarnya menduga ada beberapa poin yang sengaja menghalanginya bersama Paat agar tidak bisa ikut.

Ia mengakui, awalnya tidak melengkapi syarat adminitrasi pemilihan ketua. Diakuinya, proses pendaftaran waktunya satu minggu.

“Satu minggu itu mestinya saya harus melegalisir SK dan lain-lain kan. Sebagai syarat. Tapi saat itu Ketua STAIN Mufid satu minggu itu tidak ada di kantor. Saya enggak tahu, apa sengaja menghindar, atau gimana. Sehingga sampai akhir pendaftaran, syarat-syarat saya itu tidak pernah dilegalisir,” beber dia.

“Akhirnya saya dan Pak Paat tidak bisa daftar. Waktu habis tapi syarat belum terpenuhi. Saya lapor ke pak Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Jakarta Profesor Amsal, saya lapor keadaanya seperti ini. Direktur marah-marah, enggak bisa cara-cara seperti ini. Menyalahi aturan PMA, gitu. Prof Amsal saat itu,” ungkap dia.

Lapor Menteri

Mudzakir mengaku tidak mau bereaksi lebih jauh terkait laporan itu. Dia mengaku akan melaporkan masalah itu kepada Menteri Agama RI.

“Saya nanti mau lapor ke Menteri langsung,” kata dia. “Saya ndak mikir mau ada laporan ke KPK, saya ndak peduli. Sebab sudah sesuai aturan,” tambahnya.(tim)