2 Proyek Pelindo II Disebut BPK Rugikan Negara Rp 2 Triliun

oleh

 

Foto ilustrasi salah satu titik bongkar muat barang di pelabuhan

Jakarta (Infoplus) – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut ada proyek PT Pelindo II (Persero) yang mengakibatkan kerugian negara hingga lebih dari Rp2 triliun. Antara lain, kerja sama operasi Terminal Peti Kemas Koja Tahun 2014-2039 dan pembangunan Terminal Kalibaru.

Temuan BPK melansir, perpanjangan kerja sama operasi Terminal Peti Kemas Koja telah merugikan negara sebesar US$139,06 juta atau setara Rp1,86 triliun. Kerugian berasal dari hasil pemeriksaan investigatif BPK atas permintaan Pansus Angket Pelindo II.

Ketua BPK Moermahadi Sorja Djanegara mengatakan, kerugian negara dikarenakan oleh penyimpangan yang dilakukan. “Salah satunya kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama senilai US$137,47 atau senilai Rp1,84 triliun,” ujarnya, Rabu (31/1).

Kekurangan itu terjadi karena Pelindo II menggunakan skenario perpanjangan, sehingga net present value yang diterima cuma US$377,67 juta, terdiri dari upfront fee US$50 juta dan NPV dari pendapatan bersih yang menjadi bagian Pelindo II dari 2014-2039 sebesar US$327,67 juta.

Padahal, sambung Moermahadi, jika menggunakan skenario self operate, maka NPV dari seluruh pendapatan bersih perusahaan bisa mencapai US$515,14 juta.

“Dengan demikian, selisih US$137,47 juta seharusnya ditambahkan sebagai upfront fee,” imbuh dia.

Lebih lanjut ia menuturkan, kerugian perpanjangan juga dikarenakan pembayaran biaya konsultan keuangan pada Deutsche Bank Hong Kong Branch yang tidak sesuai dengan ketentuan kontrak sebesar US$1,59 juta atau setara Rp21,21 miliar.

Pemeriksaan investigatif BPK mengindikasikan evaluasi Deutsche Bank Hong Kong terhadap Terminal Peti Kemas Koja merupakan justifikasi untuk memilih opsi perpanjangan dengan PT Hutchinson Port Holdings selaku pihak yang menunjuk Pelindo II.

Direksi Pelindo II saat perjanjian tersebut dibuat juga tidak memiliki owner estimate sebagai acuan dalam menilai penawaran kepada Hutchinson. Deutsche Bank Hong Kong juga terindikasi memiliki konflik kepentingan karena berperan sebagai negosiator, lender, dan arranger.

Dugaannya, Deutsche Bank Hong Kong juga sengaja membuat valuasi bisnis untuk mendukung skenario perpanjangan dengan Hutchinson dengan cara menggunakan dasar perhitungan tidak valid.

Pembayaran pekerjaan kepada Deutsche Bank Hong Kong tetap dilakukan sesuai perintah saudara Richard Joost Lino selaku direktur utama Pelindo II (sekarang mantan), meskipun tidak didukung dengan bukti-bukti dokumen syarat pembayaran yang telah diatur dalam kontrak.