Semarang – INFOPlus. Pengasuh Pondok Pesantren Asshodiqiyah Semarang, KH Shodiq Hamzah malu dengan munculnya fatwa MUI yang melarang masyarakat memilih pemimpin yang tidak seiman atau tidak seakidah.
“Kalau kita sebagai umat Islam ya malu, tapi lebih malu kalau pemimpin muslim dalam rangka menjadi pemimpin orangnya amburadul dan korupsi, kan lebih malu lagi daripada pemimpin yang nonmuslim,” tutur dia (24/11).
KH Shodiq Hamzah merespons fatwa yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI Jateng yang mengharamkan memilih pemimpin yang tidak seakidah, Sabtu (23/11).
“Pemimpin muslim amburadul dan korupsinya besar. Tapi nonmuslim bisa menata negara, kemaslahatan ada, ora tau korupsi, nah kamu pilih yang mana?” tanyanya.
Dalam kesempatan itu, Kiai Shodiq meminta masyarakat bisa membedakan mana urusan agama dan mana yang bukan. Dia mencontohkan Gus Dur yang pernah meramalkan Ahok bakal menjadi Gubernur DKI. Namun kalah dengan Anies saat Pilkada digelar karena munculnya isu agama.
“Jadi di sini tidak bisa membedakan antara agama dan tidak. Gus Dur kan mendukung Ahok, Ahok kalah gara-gara Anies pakai isu agama, surat Al Maidah ayat 51,” ungkapnya.
Kiai Shodiq menegaskan bahwa negara Indonesia itu berazas Pancasila sehingga tidak boleh ada fatwa atau opini keagamaan dalam pemilihan seorang pemimpin pemerintahan.
“Nah berhubung kita negara Pancasila maka harus dibedakan antara agama dan tidak. Jadi jika orang Islam mau gak milih silahkan, tapi jangan membuat fatwa yang mengharam-haramkan. Indonesia bukan negara agama, tapi negara Pancasila,” tegas dia.
Kiai Shodiq menyayangan sikap MUI yang menurutnya sudah seperti partai politik dengan menggunakan komisi fatwanya.
“MUI itu melampaui kewenangan malah berperan sebagai partai politik. Jadi jangan bangga kalau hanya sekedar komisi fatwa,” sambungnya.
Kiai Shodiq juga mempertanyakan kenapa fatwa ini dikeluarkan menjelang coblosan. Terlebih fatwa yang dikeluarkan malah membuat kagaduhan dan keresahan di kalangan masyarakat Kota Semarang.
Semestinya, MUI secara kelembagaan membuat produk hukum dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat.
“Jadi status haram, halal, wajib, dan lain sebagainya itu berdasarkan prinsip kemaslahatan. Nah maslahat gak MUI membuat fatwa seperti itu? kan malah bisa memecah belah umat dan tendensius ke salah satu pihak,” tandasnya.
“Nah MUI kan selama ini kalau membuat fatwa kan mengikat. Beda dengan NU. Jadi seolah-olah malah kayak jadi hukum agama, kalau dikerjakan dapat pahala kalau ditinggalkan dapat dosa,” sambung dia.