Jakarta-INFOPlus. Upah kerap kali ditentukan melalui perjuangan antara kepentingan kelompok pemilik modal dengan para pekerja (Marx, 1844). Namun, pekerja kerap kali mengalami kekalahan dalam menentukan nilai upahnya. Hal ini juga dialami oleh pekerja kampus yang mendapatkan upah tidak layak sehingga harus menambah kerja-kerja sampingan lainnya. Berdasarkan kondisi di atas, Serikat Pekerja Kampus melalui Departemen SDM dan pendidikan berupaya menggali kondisi riil upah pekerja kampus sekaligus rekomendasi nilai dan komponen perhitungan upah pekerja kampus.
Survei Kesejahteraan Dosen (2023) menemukan bahwa mayoritas dosen menerima gaji bersih (take home pay) kurang dari tiga juta rupiah. Bahkan, di awal karirnya, para dosen ini memiliki nilai gaji jauh lebih rendah dibandingkan pekerja dengan kualifikasi yang sama pada institusi/kementerian lain. Ditambah lagi, rendahnya gaji ini diikuti oleh beban kerja Tri Dharma Perguruan Tinggi yang cukup berat. Hal tersebut terlihat dari besarnya kerja pengajaran dengan jumlah mahasiswa yang semakin bertambah tapi upah per SKS tidak bertambah, besarnya kerja pembimbingan yang hanya diganti maksimum, besarnya target riset, publikasi, dan pengabdian kepada masyarakat tanpa timbal balik yang adil.
Demikian yang terungkap dalam Webiner bertajuk “Mengadili Maling Upah Pekerja Kampus”, yang diselenggarakan oleh SPK (Serikat Pekerja Kampus , semalam.
Dalam Webiner tersebut SPK menampilkan nara sumber Ardianto Satriawan, Ph.D yang merupakan perwakilan Serikat Pekerja Kampus ITB. Ardianto yang diberi kepercayaan membongkar Realita Pekerja Kampus dalam. Yang berharap “Jangan Jadi Dosen”, kalau tidak tahan dengan kecilnya imbalan. Ardianto juga memaparkan “apa saja keluhan-keluhan pekerja kampus saat ini?”, Bagaimana kecukupan upah pekerja kampus?, Bagaimana keseimbangan antara upah pekerja kampus dan beban kerja?
Sementara itu nara sumber lain Dian Fatmawati memberikan ulasan tentang Kondisi pekerja Kampus di Jogja dan tuntutan para pekerja kampus. Kemudian apa saja keluhan-keluhan pekerja di sebuah Kampus Negeri di Jogjakarta?, Bagaimana keseimbangan antara upah pekerja kampus dan beban kerja? Dan juga Bagaimana kecukupan upah pekerja kampus? Apakah stereotype biaya hidup di Yogyakarta yang murah masih relevan dengan nominal upah yang diberikan?
Nara sumber, lain Tugimin supriyadi sebagai pematik tentang bagaimana perhitungan upah pekerja kampus yang seharusnya?, bagaimana kondisi/struktur upah pekerja kampus saat ini?, Psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara itu juga membahas apa kelemahan struktur pengupahan pekerja kampus saat ini?, serta apa rekomendasi perhitungan upah pekerja kampus hingga saat ini?