PK, Gubernur Akpol Kalah Digugat Tarunanya Sendiri di Pengadilan

oleh

Para taruna Akpol.

Semarang – Gubernur Akademi Kepolisian (Akpol) RI di Semarang kalah menghadapi gugatan seorang tarunanya sendiri. Taruna Akademi Kepolisian TK. II Angkatan 51 Detasemen Adnyana Yuddhaga a.n Brigdatar Muhammad Haidar Yaafi Munawar No. Ak. 16.016.

Muhammad Haidar, alamat LK II. Jalan N. Sudirman Nomor 18, Asrama Polres, RT.002, RW.002 Kelurahan Lubuk Pakam Pekan, Kecamatan Lubuk Pakam menggugat karena dicopot sebagai taruna secara tidak sah.

Lewat Surat Keputusan Gubernur Akademi Kepolisian Nomor: Kep/65/IV/2018 tanggal 5 April 2018 tentang Pemberhentian Dengan Hormat dirinya, Haidar dicopot.

Gugatan itu dikabulkan mulai di pengadilan tingkat pertama PTUN Semarang, sampai tingkat Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA).

Gugatan dikabulkan PTUN Semarangg Nomor 103/G/2018/ PTUN.SMG tanggal 27 November 2018. Pada tingkat banding putusan tersebut dikuatkan oPengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 64/B/2019/- PT.TUN.SBY., tanggal 11 April 2019.

Di tingkat kasasi, permohonan kasasi yang diajukan Gubernur Akpol ditolak Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 413 K/TUN/2019, tanggal 24 Oktober 2019.

Sesudah putusan terakhir itu, Akpol mengajukan upaya Peninjauan Kembali pada tanggal 4 Februari 2020. Majelis hakim PK terdiri Dr Supandi (ketua), Dr Yosran dan Prof Hary Djatmiko pada tanggal 14 Mei 2020 menolaknya.

“Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali Gubernur Akademi Kepolisian Republik Indonesia,” kata hakim dalam putusan PK nya nomor perkara nomor 91 PK/Tun/2020.

Pertimbangan Hukum

Di pertimbangannya, hakim PK menyatakan, upaya administrasi merupakan hak hukum yang dapat ditempuh oPenggugat. Akan tetapi karena keputusan yang tertuang pada Surat Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Nomor R/349/XI/2017/Pusdokkes, tanggal 8 November 2017, tentang Hasil Pemeriksaan Kesehatan BPKP Tingkat Pusat a.n. Brigdatar Muhammad Haidar Yaafi Munawar tidak diberitahukan secara tertulis kepada Penggugat. Maka Penggugat tidak dapat menempuh upaya hukum banding kepada Kapusdokkes sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2013 tentang Tata Cara Kerja Badan Penguji Kesehatan Personel Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kesalahan Pejabat Tata Usaha Negara tidak boleh dilimpahkan kepada Penggugat. Dengan demikian, walaupun Penggugat tidak menempuh upaya administrasi sebagaimana mestinya, tidak mengakibatkan hilangnya hak Penggugat menuntut haknya ke pengadilan.

Bahwa walaupun Pejabat Tata Usaha Negara diberi kewenangan diskresi dalam menjalankan fungsi pemerintahan, akan tetapi harus tetap sesuai dengan norma hukum dan keadilan.

Berdasarkan Hasil Rikkes Ulang Badan Penguji Kesehatan Personel (BPKP) Polri, tanggal 7 November 2017, Penggugat mengalami gangguan depresi berat dengan Status Kesehatan (Stakes) 3p dan direkomendasikan untuk dilakukan penanganan psikiater dan psikolog yang lebih efektif.

Sehingga berdasarkan Pasal 92 ayat (2) huruf b Peraturan Gubernur Akademi Kepolisian Nomor 4 Tahun 2016 tentang Peraturan Kehidupan Taruna Akademi Kepolisian juncto Pasal 13 ayat (1) huruf d dan e Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2013 tentang Tata Cara Kerja Badan Penguji Kesehatan Personel Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu mempunyai kelainan atau penyakit derajat berat yang akan mengganggu fungsi tubuh, Penggugat seharusnya diberikan “perawatan dan/atau pengobatan”, bukan pemberhentian dengan hormat.

Pertimbangan itu sebagaimana pertimbangan hakim PTUN Semarang. Majelis hakim dalam petimbangannya menyatakan, tidak diberitahukannya secara tertulis Surat Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Nomor: R/349/XI/2017/Pusdokkes tanggal 8 Nopember 2017 tentang hasil pemeriksaan kesehatan BPKP Tk. Pusat a.n. Brigtutar Patriya Nararya Vinutama dan Brigdatar M. Haidar Yaafi M kepada Penggugat maka Penggugat tidak dapat menempuh upaya hukum banding kepada Kapusdokkes.

Hakim menyatakan obyek sengketa, keputusan pemberhentian itu telah mengandung cacat hukum dari aspek prosedur penerbitannya dan tidak sah.

Hakim mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.

“Menyatakan batal Keputusan Gubernur Akpil tentang Pemberhentian Dengan Hormat Muhammad Haidar Yaafi Munawar.
Memerintahkan Gubernur Akpol mencabut keputusan itu. Memerintahkan Tergugat memulihkan kembali harkat dan martabat serta kedudukan sebagai taruna Akpol,” demikian isi putusan PTUN Semarang pada 26 November 2016 terdiri, Dr Syofyan Iskandar (ketua), Sarjoko dan Eka Putranti (anggota).

(far)