Peraturan Pendidikan Tinggi di Indonesia Layaknya Dagelan

oleh

Dr. phil. Idhamsyah Eka Putra

Jakarta – Dunia Pendidikan Tinggi di Indonesia belakangan disibukan dengan munculnya aturan-aturan baru. Aturan itu dianggap seolah membelenggu kemajuan bagi dosen untuk berkembang agar berkesempatan menjadi Guru Besar.

Selain dianggap syaratnya cukup rumit, juga terkesan dipersulit. Dr. phil. Idhamsyah Eka Putra menilai aturan Perguruan Tinggi di Indonesia seperti “dagelan.”

Lulusan terbaik dan tercepat di Johannes Kepler University (di bawah bimbingan Prof. Wolfgang Wagner) ini berharap, ke depan nasib para dosen lebih baik.

Ia yang intens meneliti tingkat kesejahteraan dosen juga berharap, nasib baik dosen akan mempengaruhi kualitas dosen dalam memberikan ilmu yang relevan bagi para mahasiswa.

Idam, panggilan akrabnya yang sejak tahun 2019 dipercaya menjadi team anggota (kehormatan) peneliti di CRIC- Oxford University ini berharap. Problem-problem di Perguruan Tinggi ke depan mendapatkan solusi yang lebih baik.

Problem tersebut antara lain adalah yang berkait dengan Guru Besar/Profesor, Standarisasi Gaji- academic slavery, Kepegawaian (NIDN, NIDK, NUP), sistem rekrutmen tertutup. PTN, sistem rekrutmennya tes CPNS, dan Pengembangan riset ilmiah.

Dari segi akademik, jabatan akademik tertinggi yang selanjutnya disebut dengan profesor di Indonesia mempunyai problem yang carut marut. Dosen yang sudah mempunyai kualifikasi untuk mendapatkannya, terkendala dengan aturan dan syarat rumit yang harus di penuhi.

Aturan penyetaraan menjadi kendala tersendiri bagi dosen-dosen yang sudah memiliki kualifikasi di luar negeri, dan ingin berkarir sebagai dosen di Indonesia.

Namun dibalik itu ada juga universitas dengan mudahnya memberikan gelar profesor, walaupun penerima gelar tersebut minim pencapaian ilmiah dan dalam prestasi pendidikan.

Universitas dinilai banyak mengobral gelar profesor lantaran mengejar gengsi dan tuntutan politik.

Persyaratan yang rumit, menjadikan Indonesia kekurangan Guru Besar. Kenapa?

Kampus-kampus luar negeri jika kekurangan Guru Besar, mereka akan buka slot kepegawaian untuk guru besar.

“Lantas kenapa Indonesia tidak melakukan hal yang sama? Ini sesuatu yang mudah diselesaikan tapi dianggap sulit! Dan tidak perlu teriak-teriak kekurangan Profesor,” kata dia.

(irp)